ada apa dengan deterjen

Kompas - 28 mei 2001

MENCUCI pakaian? Gitu saja kok repot... Gunakan deterjen saya, busanya melimpah, wanginya harum dan tangan tetap lembut...Iklan deterjen demikian rutin mengisi acara favorit di media elektronik. Semuanya berusaha merebut hati konsumen dengan iklan yang kreatif-kadang bombastis. Klaim yang ditawarkan juga kadang berlebihan, seperti mampu menghilangkan semua noda, warnanya tetap cemerlang, pengharum pakaian, hingga tangan tetap lembut.

Benarkah demikian? Banyaknya pilihan produk yang diinformasikan melalui iklan memang bisa jadi menguntungkan konsumen. Tetapi konsumen tetap perlu berhati-hati, karena kesalahan memilih produk akan merugikan konsumen sendiri. Oleh karena itu, informasi yang sesungguhnya mengenai produk harus benar-benar diketahui konsumen. Misalnya, daya pembersih deterjen yang secara samar terinformasikan melalui bahan aktif produk dan cara pakai produk yang tercantum pada label. Begitu juga dampak deterjen terhadap kesehatan dan lingkungan, merupakan informasi tambahan yang dapat menentukan ketika konsumen
mempertimbangkan untuk memilih suatu produk.

Daya pembersih deterjen


Deterjen merupakan sediaan pembersih yang terdiri dari zat aktif permukaan (surfaktan), bahan pengisi, pemutih, pewangi (bahan pembantu), bahan penimbul busa, dan optical brightener (bahan tambahan yang membuat pakaian lebih cemerlang).


Surfaktan merupakan bahan utama deterjen. Pada deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat kotoran menggulung, lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk butiran.

Agar butiran ini tidak pecah kembali dan menempel di kain, perlu ditambahkan jenis surfaktan lain yang akan membungkus butiran tersebut dan membuatnya tolak menolak dengan air, sehingga posisinya mengambang. Ini untuk memudahkannya terbuang bersama air cucian.

Pada umumnya kotoran yang dapat dihilangkan surfaktan adalah yang berasal dari debu atau tanah. Bila kotoran lebih berat seperti noda makanan dan noda darah, perlu ditambahkan enzim tertentu seperti enzim pengurai protein atau lemak. Namun, jika nodanya sudah lama, akan sukar sekali dihilangkan karena antara noda dan serat kain dapat terjadi reaksi polimerisasi yang menyatukan noda dengan kain. Jadi klaim
yang menyebutkan dapat menghilangkan semua noda, harus dikritisi hati-hati.

Selain itu, daya pembersih deterjen juga tergantung pada bahan pengisi. Bahan pengisi ini berfungsi menetralisir kesadahan air atau melunakkan air, mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang dicuci dan mencegah terbentuknya gumpalan dalam air cucian. Tetapi jika air terlalu sadah, seperti yang terdapat di beberapa tempat di Jakarta, maka daya pembersih deterjen apa pun tidak akan optimal.

Kemampuan daya pembersih deterjen ini dapat ditingkatkan jika cucian dipanaskan karena daya kerja enzim dan pemutih akan efektif. Tetapi, mencuci dengan air panas akan menyebabkan warna pakaian memudar. Jadi untuk pakaian berwarna, sebaiknya jangan menggunakan air hangat/panas.

Sedangkan hubungan antara daya pembersih deterjen dengan bahan penimbul busa sama sekali tidak signifikan. Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan tanpa perlu adanya busa. Jadi, opini yang sengaja dibentuk bahwa busa yang melimpah menunjukkan daya kerja deterjen adalah menyesatkan.

Daya pembersih deterjen juga tidak dapat dikaitkan dengan harga. Dari suatu hasil uji yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), tidak ada kaitan signifikan antara harga dengan daya bersih deterjen.

Dampak terhadap kesehatan dan lingkungan

Bahan kimia yang merupakan bahan deterjen ada yang termasuk keras dan ada pula yang termasuk lunak. Keras-lunaknya deterjen tergandung pada kadar pH (tingkat keasaman atau kebasaan) jenis zat-zat kimia di dalam deterjen, terutama dari bentuk rantai kimia dan jenis gugus fungsi surfaktan.

Dari kadar pH deterjen yang sangat basa (9,5-12), diketahui bahwa deterjen memang bersifat korosif. Hal ini dapat mengakibatkan iritasi pada kulit. Sementara pada susunan rantai kimia surfaktan terdapat formulasi bahwa semakin panjang dan bercabang rantai surfaktan, akan semakin keras deterjen tersebut. Sedangkan dari jenis gugus fungsinya, maka gugus fungsi sulfonat bersifat lebih keras dibandingkan gugus fungsi karboksilat.

Deterjen yang keras dapat menimbulkan masalah pada kulit. Dari hasil survei YLKI, dapat diketahui keluhan yang biasanya dirasakan konsumen yaitu kulit terasa kering, melepuh dan retak-retak, kulit tangan gampang mengelupas, hingga timbulnya eksim kulit semacam bintik-bintik gatal berair di telapak tangan maupun kaki. Untuk mengatasi itu, sebaiknya konsumen menghindari kontak langsung kulit dengan deterjen. Kalaupun sudah terlanjur kontak, maka tangan/ kaki yang terkena harus cepat dibilas air bersih dan dikeringkan.

Selain itu, konsumen juga dapat memilih deterjen lunak, seperti deterjen cair. Bahan deterjen cair ini kurang menimbulkan iritasi karena rantai surfaktan-nya lebih pendek dari deterjen bubuk, tetapi daya pembersih deterjen cair ini lebih rendah dari deterjen bubuk. Jadi jika ingin aman, konsumen dapat memilih deterjen cair, tetapi jika ingin bersih dapat memilih deterjen bubuk.

Bagaimana seandainya deterjen terminum? Setelah melalui perjalanan panjang, deterjen dapat kembali hadir tersedia dalam air minum kita. Hal ini terjadi karena air sungai dan air tanah yang merupakan air baku untuk air minum banyak yang tercemar limbah deterjen yang tidak dapat terurai. Instalasi pengolahan air minum sendiri belum cukup memadai untuk mengeliminir kandungan deterjen karena kompleksitas susunan kimiawinya. Apalagi ujung rantai kimia deterjen bersifat terbuka sehingga ketika bertemu dengan zat kimia
lain di dalam bahan air akan gampang sekali membentuk reaksi kimia sangat kompleks.

Jadi, konsumen harus mulai memikirkan dampak jangka panjang memakai deterjen. Dampak terhadap kesehatan memang tidak kelihatan sekarang. Karena deterjen merupakan bahan kimia yang dapat terakumulasi di dalam jaringan tubuh, dikhawatirkan suatu saat akan timbul penyakit degeneratif semacam tumor atau kanker.

Untuk mencegah dampak lebih parah diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan. Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen, walaupun untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus melalui uji laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.

Pemerintah dan produsen sendiri diharapkan dapat berkontribusi aktif dalam mengatasi masalah pencemaran limbah deterjen. Sayang, peraturan pemerintah mengenai hal ini belum memadai. Termasuk Standar Nasional Indonesia yang mensyaratkan 80 persen surfaktan harus dapat terurai, sementara dari daftar pilihan bahan surfaktan tidak terlihat jenis surfaktan yang dimaksud termasuk jenis ramah lingkungan. Sedangkan dari sisi produsen, tampaknya trend ke depan akan sulit menghindari keinginan konsumen yang semakin sadar bahwa pola konsumsi dapat berdampak bagi lingkungan.

(Ilyani S Andang, staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. )

Jumat, 13 Agustus 2010

Derra ga ada busa ?

....biasanya pas nyuci seneng banget kalo liat busa banyak...perasaan makin berbusa makin bagus ternyata enggak juga!!!